Rabu, 16 November 2011

Berakhir di Bus

Setahun lalu aku bertemu dengan dia di Bus. Saat itu dia duduk di sampingku. Awalnya aku tak peduli. Tapi dia mengulurkan tangannya seraya berkata “Namaku Andre. Kamu?”. “Rere” jawabku singkat tanpa membalas uluran tangannya. “Anak SMA Harapan?” Tanyanya pelan. “Iya, anak SMA Harapan juga?” Kali ini ku jawab agak panjang. Dia tersenyum dan aku membalas senyumnya. Semenjak itu aku dan dia sering berbincang di Bus. Yah, hanya di Bus. Aku tak pernah melihatnya di sekolah. Dan dia juga tak pernah mencariku di sekolah. Sesekali ada sedikit rasa kecewa karena dia tidak pernah menemuiku di sekolah. Tapi itu urusan dia. Lagian, aku siapanya dia?

“Hei” sapanya suatu ketika. “Ah, Ndre.” Balasku. Seperti biasa, dia duduk di sampingku mengangkat kakinya lalu menengadah sambil menutup matanya. Hari itu aku lihat ada yang aneh dengannya. Karena biasanya dia terus berbicara sepanjang jalan menuju sekolah. Tapi kali ini berbeda. Dia tak bicara sama sekali. Sesampai di halte Tamalanrea -yang merupakan tempat turun kami dihari-hari sebelumnya- dia juga tetap membisu. Menutup matanya tak bergerak. Aku menatapnya sejenak. Berharap dia akan membuka matanya lalu tersenyum seperti sebelum-sebelumnya. Tapi kosong. Dia tak bergerak sama sekali. Karena kesal aku berlalu meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatahkatapun. Dia benar-benar aneh pikirku. Tapi apa peduliku?

Di hari-hari selanjutnya dia tak pernah kelihatan lagi. Jujur aku kesepian. Tak ada lagi yang mengajakku berbicara di Bus. Tak ada lagi cerita-cerita lucu darinya. Tak ada lagi senyum geli darinya. Aku benar-benar merindukan suasana Bus saat dia ada. Dulunya aku menganggap dunia itu hitam. Tak hidup. Hanya dihiasi orang-orang yang tak bisa menghargai satu sama lain. Tapi dia datang bagai malaikat putih yang menyinari pemikiranku. Dia.. Dia.. berarti untukku.

Karena penasaran aku mencarinya di sekolah. Rasa sesal menyelimutiku saat itu. Kenapa aku tak pernah menanyakan Kelasnya? “Bodoh” umpatku. Ku telusuri tiap kelas. Namun nihil, tak ada yang mengenalnya. Atau buruknya, tak ada orang yang bernama Andre Pratama di sekolah. Sial! Apa aku dibohongi? Aku harus bertemu dengannya. Dia keterlaluan, kenapa dia harus membohongiku? Ah, apa pedulinya? Aku tak berarti apa-apa untuknya.

Setiap malam aku tidur sambil memikirkannya. Padahal sudah hampir setengah tahun aku tak pernah bertemu dengannya. Dan aku tak lagi naik Bus sejak lima bulan yang lalu. Karena ayahku sudah membelikanku motor. Namun sesekali aku naik Bus dengan harapan aku akan bertemu dengan dia, Andre sang penakluk hatiku. Tapi yang nampak hanya sekelebat kenangan aku dan dia. Kenangan yang berakhir dengan diam.

Aku duduk termangu di meja belajarku. Mengabaikan PR-PR yang menumpuk di hadapanku. Aku tiba-tiba teringat dengan pertemuan pertamaku dengan Andre. Ku garuk-garuk daguku. Ada yang ganjil di hatiku. Bukan karena aku merasa dia membohongiku. Hanya ku rasa dia seperti tak ada. Hanya halusinasi. Apa aku sudah gila?

“Maaf, Dek. Saya tidak pernah melihat ada orang yang duduk di sebelah adek. Justru penumpang yang lain merasa heran dengan sikap adek yang.. maaf yah. Seperti orang gila. Berbicara sendiri dan tertawa sendiri” kata Pak Ujang, Sopir tetap Bus Jalur 05 yang biasa ku naiki. Aku bergeming. Ini pasti hanya rekayasa. Argh..!! aku benar-benar gila!

“Hei” suara berat menyapaku. Aku terkejut. Ini pasti hanya halusinasi. “HALUNASI!” teriakku sambil menutup telinga. Milik suara itu sepertinya menarik tanganku. Aku tak berani menatapnya. Aku menutup mataku masih dengan menutup telingaku. Aku takut.. aku takut menjadi orang gila. Aku hanya orang yang mencintai ketidakadaan itu. Aku bukan orang gila.

“Re..ini aku. Heii.. lihat aku” ucapnya dengan nada prihatin. Dia berusaha menarik tanganku. Aku berontak. Walau akhirnya aku lelah dan tak melawan lagi. Dia memelukku. Aku tak melawan. Ada rasa kesejukan dalam diriku saat pemilik suara berat itu memelukku. “Maaf, Re.. aku memang sudah di alam lain. Hanya kamu yang bisa merasakan kehadiranku. Itu cukup menghiburku. Aku ada dan selalu ada dalam hatimu. Maaf..”

END