Rabu, 21 September 2011

Segala penyebab kemacetan di Jakarta

Jakarta - Kemacetan sudah menjadi menu sehari-hari masyarakat Jakarta, kesemrawutan dan tidak tertibnya lalu lintas sudah marak dan menjadi kebiasaan.

Kemacetan mengakibatkan kerugian secara ekonomi maupun secara tidak materiil.

Akan tetapi pemerintah sepertinya sudah kepayahan mengurai masalah ini atau mungkin tidak ada upaya terpadu yang diupayakan secara serius.

Lihatlah anggota polisi yang mengatur di perempatan-perempatan jalan sudah kelihatan kepayahan dan kehilangan akal untuk mengatasi kemacetan.

Hal ini dikarenakan penyebab kemacetan berasal dari berbagai segi kehidupan yang saling terkait, termasuk di dalamnya adalah pemerintahan yang memelihara budaya korup dan mandulnya penegakan hukum.

Masing-masing pihak saling membantah bahwa pihaknya bukan penyebab kemacetan. Padahal kalau dipikir dengan jernih, mereka adalah penyumbang sebab kemacetan walau bukan penyebab utama.

Kita harus menyelesaikan secara mendasar, banyak hal-hal mendasar yang harus diperbaiki seperti tertib administrasi kependudukan akan dapat menyumbang meringankan masalah kemacetan ini.

Pada kesempatan ini penulis akan memulai menjelaskan penyebab kemacetan di Jakarta, satu sama lain saling menunjang dan tidak ada yang menjadi satu-satunya penyebab. Penyebab kemacetan di Jakarta adalah sebagai berikut.

Pertama, buruknya layanan transportasi umum yang ada, yaitu tidak adanya time table (atau terjadwal), tidak berhenti di halte saja, buruknya kualitas kendaraan, buruknya pelayanan sopir dan kondektur.

Dari segi sistem transportasi, lebih berkembangnya transportasi dengan kendaraan kapasitas kecil, angkot (bukan mass rapid system) dan bukan bus, sistem rute yang tetap tidak dievaluasi dan dirubah sesuai kebutuhan, juga karena sistem setoran bukan sopir digaji, kebanyakan dikelola oleh perorangan dan UKM yang belum bisa memikirkan pelayanan, bahkan banyak yang merupakan usaha sampingan.

Akibat dari buruknya sistem transportasi dan perilaku angkutan umum ini menimbulkan kemacetan secara langsung dan secara tidak langsung dengan meningkatkan kecenderungan orang untuk menggunakan mobil pribadi dan motor sebagai alat transportasi sehari-hari.

Sehingga jumlah kendaraan bermotor melebihi kapasitas jalan yang ada yang akan menyumbang masalah kemacetan.

Kedua, jumlah kendaraan bermotor yang sangat banyak akibat dari buruknya pelayanan angkutan umum seperti dijelaskan pada penyebab pertama. Didukung oleh perilaku masyarakat yang mengedepankan gengsi dengan menggunakan mobil sendiri.

Ketiga, arus urbanisasi yang tidak bisa dibendung dan mitos Jakarta sebagai kota harapan. Banyaknya jumlah penduduk meningkatkan mobilitas penduduk yang membutuhkan alat transportasi dan juga membutuhkan lapangan kerja serta tempat melakukan usaha yang cenderung menggunakan fasilitas umum seperti trotoar dan badan jalan, padahal perkembangan infrastruktur jalan yang jalan di tempat. Bahkan Pemda DKI sudah kewalahan mengatasi masalah urbanisasi.

Keempat, infrastruktur jalan. Kenyataan menunjukkan bahwa infrastruktur jalan di Jakarta sangat kurang dibanding dengan jumlah kendaraan yang ada. Hal ini yang dijadikan alasan pihak lain yang dituduh menjadi penyebab kemacetan sebagai penyebab utama kemacetan, seperti anggapan atau sangahan bahwa angkutan umum dan jumlah penjualan kendaraan bermotor tidak ikut andil dalam meningkatkan kemacetan. Infrastruktur dan yang lainnya adalah saling terkait dalam menyebabkan terjadinya kemacetan.

Walaupun sadar bahwa infrastruktur jalan sangat kurang, akan tetapi sebagai pihak yang memiliki otoritas jalan tidak melakukan penertiban terhadap pemakaian jalan yang tidak sesuai, seperti sebagai tempat parkir (bahkan sampai menganggu pengguna jalan lainnya), tempat ngetem angkutan umum, berjualan, tempat tambal ban dan bengkel. Di Cibubur ada yang menggunakan satu jalur jalan untuk digunakan sebagai tempat memperbaiki mobil di depan toko aksesoris/ spare part nya. Di Depok 3 jalur dari 4 jalur yang ada digunakan sebagai tempat ngetem angkot.

Kelima
, fasilitas pendukung jalan kurang sekali. Fasilitas pendukung jalan seperti trotoar sangat diperlukan untuk mencegah kemacetan. Sekarang ini jalan yang sudah sempit masih digunakan oleh pejalan kaki, sepeda dan gerobak sehingga menambah sesaknya jalan tersebut. Seharusnya pejalan kaki, sepeda dan gerobak menggunakan trotoar sebagai sarana bergerak sehingga jalan raya akan lebih bisa menampung banyaknya jumlah kendaraan bermotor. Fasilitas kurang ditambah lagi kurangnya penertiban terhadap penyalahgunaan infrastruktur jalan sebagai lahan usaha termasuk parkir, berjualan dan penggunaan yang lainnya.

Keenam
, kesadaran tertib berlalu lintas yang sangat rendah, hal ini disebabkan gagalnya lembaga yang berwenang mengeluarkan surat izin mengemudi menjadikan proses perolehan izin ini sebagai media pembelajaran tertib berlalu lintas.

Pihak berwenang bisa mengeluarkan izin kepada orang yang sama sekali tidak mengetahui tata tertib berlalu lintas, bahkan kepada orang yang tidak bisa mengemudi sekalipun. Hal ini merupakan imbas dari praktek kolusi yang disinyalir banyak terjadi pada proses mendapatkan surat izin tersebut. Kedua disebabkan oleh gagalnya atau lemahnya penegakan hukum sehingga seseorang menganggap remeh pelanggaran lalu lintas karena aparat penegak hukum bisa disuap. Pada akhir-akhir ini, usaha penegakan hukum sangat mengendur karena arus reformasi yang membuat penegak hukum tidak leluasa lagi mendapatkan uang damai. Hal ini bisa dilihat maraknya pelanggaran penggunaan helm, menerobos lampu merah dan lain-lainnya.

Ketujuh, kebebasan melakukan kegiatan usaha oleh siapa saja dan dimana saja. Walau sebenarnya Pemda DKI sudah memiliki aturan hukum tentang larangan berjualan di sembarang tempat, tetapi kembali penegakan hukum mandul karena aparat yang bisa disuap atau bahkan memeras.

Seharusnya Pemerintah membatasi dengan mewajibkan adanya izin usaha. Birokrasi koruptif membuat semua perangkat hukum tidak efektif, perizinan yang seharusnya menjadi kontrol dan pengaturan malah menjadi media mendapatkan pemasukan.

Kedelapan, penerapan sistem jalan bebas hambatan di jalan umum. Dengan asumsi bahwa dengan memperlancar pada perempatan-perempatan jalan akan mengurangi kemacetan, maka sistem ini diterapkan. Karena sangat tidak mungkin membuat jalan raya bukan jalan tol dibuat bebas hambatan dengan model simpang susun, dan hal ini akan memerlukan biaya yang sangat besar, maka opsi ini sulit untuk diwujudkan dan menjadi solusi. Yang terjadi malah distribusi kendaraan yang tidak merata, karena kendaraan bisa melaju dengan cepat di suatu tempat dan akan menumpuk di perempatan dan pertigaan yang mengakibatkan kemacetan.

Seandainya pada jalur yang bisa melaju cepat tadi di lampu merah untuk berbalik arah, orang menyeberang dan yang lainnya, maka penumpukan kendaraan pada suatu tempat akan dapat dihindari.

Sekaligus memberikan hak penyeberang jalan untuk menyeberang dengan aman. Lihatlah sekarang betapa teraniayanya para penyeberang jalan karena susah dan menakutkan untuk menyeberang diantara laju kendaraan yang sangat tinggi. Bahkan ada asumsi yang menganggap bawa lampu pengatur lalu lintas menjadi penyebab kemacetan, padahal di luar negeri lampu merah menjadi dewa penolong dari kemacetan dan kesemrawutan.

Kemudian pertanyaan kita, apakah semua ini ada solusinya? Saya jawab ada asal ada kemauan dari pemerintah dan adanya sosialisasi terhadap masyarakat.

Mudah-mudahan pada artikel selanjutnya saya akan mengupas satu persatu, tahap per tahap bagaimana mengatasi kemacetan ini. Dan harus diingat bahwa solusi itu bukan single solution tapi banyak solusi yang harus dilakukan secara terpadu.

Pertikaian tauran sudah menjadi seperti adat di Indonesia

Kejadian di Jakarta wilayah Johar Baru mempublikasikan potret kebrutalan akan terjadinya tawuran di daerah Jakarta ini.

Berbagai upaya dilakukan untuk meredam tawuran antar warga di Johar Baru, dan sekitarnya. Wilayah Johar Baru seperti neraka bagi warga, karena iklim tak pernah kondusif. Selalu dihantui was-was, tak ada rasa aman bagi warga untuk hidup dalam suasana cinta damai.

Pemerintah setempat dan kepolisian sebenarnya pernah membuat Nota Kesepakatan Antar Perwakilan 4 Wilayah Kelurahan yang ada di Kecamatan Johar Baru. Prosesi penandatangan kesepakatan ini disaksikan aparat Muspiko Wali Kota Jakarta Pusat, Polri, Dandim, dan Kejaksaan Negeri.

Salah satu butir kesepakatan ini menyebutkan tentang sanksi hukum pidana bila dari salah satu kelompok melakukan pelanggaran atau tawuran serta diketahui keberadaannya sebagai pelaku langsung atau provokasi, maka akan dikenakan proses penyidikan oleh pihak Polri. Selanjutnya dilakukan sanksi hukum untuk dipidana sesuai dengan pasal-pasal KUHAP.

Sayangnya, nota kesepakatan tersebut tidak memiliki taji, buktinnya tawuran terus terjadi. Upaya lain ditempuh dengan mengumpulkan warga untuk mengikuti istighosah. Harapannya, dengan cara ini dapat meredam hawa nafsu sehingga warga tidak mudah terprovokasi pihak luar. Lagi-lagi, pendekatan agama ini juga belum membuahkan hasil.

Bahkan ide untuk memindahkan warga Johar Baru ke daerah lain dengan program transmigrasi pernah di gagas aparat setempat. Langkah ini bahkan sudah disosialisasikan kepada warga. Pihak Kelurahan Johar Baru menawarkan warga ikut pogram transmigrasi ke Riau dan Kalimantan Barat. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi kepadan penduduk di wilayah tersebut. Penduduk yang padat juga berpengaruh terhadap munculnya bentrokan antarwarga. Sayangnya, tawaran ini tidak cukup menarik bagi warga. 

Kasus Johar Baru juga mengusik orang pertama di Jakarta, Gubernur Fauzi Bowo. Bang Foke, sapaan akrabnya mengatakan, maraknya tawuran yang belakangan ini akibat renggangnya ikatan dalam masyarakat. Karenanya, jika Siskamling kuat, silaturahmi di tingkat RT dan RW terjalin, maka tidak akan ada tawuran. Sebab, warga tidak mudah terprovokasi.

Tawuran, umumnya akibat provokasi dari pihak luar. "Ini harus diantisipasi," tandasnya. Seringnya tawuran terjadi di kawasan Johar Baru, membuat Pemprov DKI berencana akan memasang CCTV di beberapa titik untuk memantau situasi di lapangan. Paling tidak, dengan adanya CCTV ini, Pemprov bisa lebih mudah mengetahui penyebab tawuran. "Saya setuju itu dipasang untuk dimungkinkan kita memonitor," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, saat mengunjungi Kelurahan Kampung Rawa, Jl Rawa Selatan II, Johar Baru, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Kamera CCTV dapat dimanfaatkan untuk memonitor kegiatan yang terjadi di seluruh pelosok Ibu Kota.  "Supaya kalau ada hal-hal yang perlu perhatian dan tindakan dari pemerintah dan kita akan bisa mengejar faktor penyebabnya itu," katanya.

Johar Baru hanyalah satu protret kecil dari kehidupan masyarakat kota metropolitan yang menyimpan potensi kekerasan massal. Masih banyak di wilayah di Jakarta, dan daerah lainya yang perlu penanganan serius. Perlu upaya antisipatif yang meibatkan warga, bukan sekadar tindakan represif dengan menangkapi pelaku tawuran. Sebab, akar persoalan dari kasus ini berada di dalam masyarakat itu sendiri. 

Suasana mencekam terjadi di wilayah Johar Baru Jakarta Pusat, sore itu. Warga antar-RW itu terlihat lempar-lemparan petasan. Ada yang menggunakan keramik, botol, sampai golong dan pedang sebagai senjata andalannya.

Polisi hanya bisa memisahkan dan menembakan gas air mata ke massa yang terlibat saling serang agar bubar dari tawuran. Terlihat beberapa polisi yang kebingungan untuk memisahkan warga. Tak lama kemudian, tawuran antarwarga ini terhenti setelah polisi terus merangsek.

Warga saat itu terlihat panik dan sangat ketakutan. Mereka semua menutup rapat-rapat pintu rumahnya masing-masing. Begitulah sekilas ilustrasi dari peristiwa tawuran yang terjadi di Johar Baru, belum lama ini, dalam tayangan vidieo di televisi.